Tahun Ini Saya Belajar untuk Berjalan Lebih Lambat

Saya ingat betul bagaimana pada awal tahun banjir tiba-tiba menyerang dan membuat seisi kota bisa dibilang hampir tenggelam. Kemudian seluruh dunia berhenti bergerak; pandemi mampir di sela-sela hidup kita yang masih terengah-engah. Selama lebih dari lima bulan tinggal di rumah, hal pertama yang saya pelajari tahun ini adalah bahwa kita semua cenderung mudah menyia-nyiakan segala sesuatu. Bagaimana dahulu kita dengan bebas bisa berpelukan dan bercengkrama dengan orang tersayang, sekarang semua diambil begitu saja.

Tahun ini bukan tahun yang mudah bagi semua orang, tetapi saya percaya, bukan manusia namanya kalau tidak mampu mengambil pelajaran dari tiap-tiap kejadian. Setiap akhir tahun, saya mencoba merefleksikan apa saja yang terjadi di sekitar dan di dalam diri saya. Hasilnya menakjubkan bagaimana dalam kurun satu tahun, banyak sekali yang saya temukan, bahkan ketika tidak sedang mencari. Berikut adalah beberapa hal yang berhasil saya pelajari dengan cara yang begitu keras:

Keahlian dalam menyia-nyiakan segala sesuatu

Beberapa waktu lalu saya diwawancarai tentang apa kegagalan terbesar dalam hidup. Sekenanya saya jawab: menyia-nyiakan orang. Saya baru bisa mengakui hal tersebut tahun ini — yang telah lama menjadi blindspot saya dan saya sangkal keberadaannya. Saya baru menyadari bahwa selama hidup saya sering menyia-nyiakan orang yang ada di hidup saya. Saya memiliki kecenderungan untuk menginginkan segala sesuatu, lalu mengabaikannya begitu saja ketika sudah mendapatkannya, sebut saja dalam beberapa hubungan platonik dan romantis. Alhasil, sebagian besar dari mereka hanya sekadar singgah dan tidak benar-benar saya jaga.

Saya belajar tentang Fallacy of Permanence, kekeliruan manusia yang menganggap segala sesuatu akan bertahan selamanya. Bayangkan seorang anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Awalnya, ia senang dan ingin bermain dengan mainan tersebut setiap waktu. Ia membawanya ke mana-mana, menunjukkannya kepada semua orang, dan bahkan memeluknya ketika tidur. Seiring berjalannya waktu, mainan baru lainnya ia temukan dan semakin jarang ia memainkan mainan tersebut dan berakhir di bagian paling dasar kotak penuh debu. Terlupakan — ya — sampai Ibu memutuskan mengambil mainan tersebut dan ingin membuangnya. Kemudian anak itu menangis, membantah, dan berjanji bahwa ia akan menjaga mainannya. Ada rasa kehilangan yang mampir. Ketika kita tidak memberikan perhatian yang cukup pada sesuatu, kita meremehkan & melupakan nilainya. Kita membiarkannya tenggelam ke dasar kotak mainan, sampai kita terancam untuk kehilangan selamanya. Masalahnya, kita lupa untuk menghargai atau memperhatikan orang-orang yang hadir dalam hidup kita.

Tahun ini saya mencoba untuk tidak menyia-nyiakan segala sesuatu, dengan cara memperhatikan dan menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di hidup saya tidak akan bertahan selamanya; menjadi sadar dan hadir pada masa-masa sekarang dan melihat lebih dalam apa yang saya miliki sekarang. Dengan itu, mungkin saya jauh lebih bisa menghargai apa pun yang terjadi dalam kehidupan saya.

Mengutarakan perasaan adalah kelebihan & bukan milik semua orang

Saya bukan orang yang gampang bicara dan cenderung menyimpan perasaan saya sendiri. Sebab, saya merasa bahwa mengeluarkan emosi atau perasaan membutuhkan usaha yang lebih, dan saya takut dengan apa yang akan terjadi jika saya meluapkan itu semua. Banyak perasaan yang tidak mampu saya ucapkan, hanya karena saya takut ditolak. Penolakan adalah salah satu ketakutan terbesar dalam hidup saya.

Saya banyak belajar dari orang-orang yang saya temui, bahkan ketika mereka tidak benar-benar mengajari saya secara langsung. Saya mengamati gerak-gerik hingga kepribadian yang mereka tunjukkan untuk belajar satu-dua hal yang saya rasa berguna bagi hidup saya ke depannya. Di tengah riuh pandemi tidak membuat saya berhenti untuk belajar dan bertemu dengan orang baru, layar konferensi video mampu menjadi penyelamat saya untuk bisa bercengkerama dengan orang-orang baru. Kartu permainan We’re Not Really Strangers menjadi penyelamat saya untuk bisa lebih terbuka, menunjukkan sisi vulnerable dari diri saya yang selama ini selalu saya pendam sendiri. Saya berhasil berbagi tentang ketakutan terbesar saya; apa pelajaran dari hubungan terakhir saya; apa kepribadian toksik yang saya miliki; hingga apa hal yang saya rindukan dalam hidup. Saya bertemu dengan begitu banyak jiwa yang begitu elok dan menerima pelajaran dari tiap-tiap pertemuan tersebut. Meski akhirnya kami berpisah dan sekarang mereka hanya sebatas nama di ponsel saya, tidak ada penyesalan yang tinggal. Mereka menyisakan cerita yang berbeda-beda dan sama indahnya. Saya mampu perlahan menerima dan menyampaikan apa yang saya rasakan.

Pada tahun ini, saya juga berkenalan dengan seseorang yang sangat berkesan meski kami hanya berjumpa via layar konferensi video dan sesekali menonton film via layanan streaming. Bisa dibilang ia cukup straightforward dan kemudian menyarankan saya untuk coba mengungkapkan perasaan yang saya miliki — dan langsung saya praktikkan kepadanya. Hasilnya, menyenangkan — mengungkapkan apa yang saya rasakan ternyata bikin lega dan terhindar dari segala macam asumsi-asumsi yang membunuh diri sendiri. Belakangan saya mencoba untuk pelan-pelan berani jujur kepada diri sendiri dan juga orang lain, mengungkapkan kepada mereka tentang apa yang saya sukai dan tidak; apa yang mengganggu; dan apa yang sedang saya rasakan.

Saya masih jauh dari kata orang-orang yang mampu bicara jujur, tapi tahun ini bisa dibilang menjadi awal untuk saya bisa mengungkapkan apa yang saya rasakan. Semoga ini menjadi sebuah pertanda baik — untuk hubungan saya dengan orang lain dan juga diri sendiri.

Menjadi pendengar butuh banyak latihan

Ada satu pernyataan dari Mas Adjie Santosoputro, seorang praktisi Mindfulness dan Emotional Healing yang menempel di kepala saya sampai sekarang, dia bilang kalau “Kita tidak terlatih untuk mendengarkan. Kita lebih terlatih untuk bicara. Maka lebih banyak kursus public speaking, dan mungkin jarang sekali atau bahkan tidak ada kursus deep listening.” Sejak itu, saya mencari tahu banyak tentang bagaimana cara untuk benar-benar mendengarkan orang lain. Saya merasa bahwa salah satu hal yang paling sederhana yang bisa saya lakukan untuk membantu orang lain adalah dengan mendengarkan.

Pada awal 2020, saat sedang menghadiri pernikahan saudara, seorang teman tiba-tiba menelpon saya dengan napas yang terengah. Rupanya, dia sedang mengalami Panic Attack. Dia sesenggukan dan meracau tidak jelas. Pada saat itu, saya tidak tahu kenapa dia menelepon saya dari sekian banyak nomor di ponselnya. Respons saya pada saat itu adalah bertanya: “Kenapa?”. Lalu setelah tahu kalau dia mengalami Panic Attack, saya mencoba untuk tenang dan melanjutkan percakapan.

Setelah kejadian itu saya sempat mengobrol dengan teman yang lain, saya bilang: “Beruntung sekali ya waktu itu dia berani reach out ke saya.” Lalu teman saya bilang: “Kayaknya itu bukan sebuah kebetulan. Dia menghubungi kamu karena mungkin kamu bisa mendengar — bisa jadi pendengar yang baik. Manusia bisa tau kalau kita benar-benar mendengarkan mereka atau tidak.” Lalu saya coba melihat kembali ke belakang: ketika saya tahu kalau dia sedang mengalami Panic Attack, saya mencoba tenang dan mendengarkan tanpa memberikan saran-saran yang tidak perlu, karena mungkin pada saat itu yang dia butuhkan adalah sebuah distraksi dari Panic Attack yang dialaminya. Tanpa menggurui, saya mencoba mendengarkan dengan baik, sedikit bercanda, dan memvalidasi perasaannya, kalau kondisi yang dia alami sekarang adalah sedang tidak baik-baik saja. Dan bukan masalah untuk tidak menjadi baik-baik saja.

Mendengarkan sepenuh hati, saya rasa, menjadi hal yang krusial. Sama seperti ketika lapar, kita butuh makan. Terkadang, ketika sedang kesepian, yang kita butuhkan adalah seseorang yang mampu mendengarkan. Kita butuh dukungan dari orang lain. Sebagai manusia, kita membutuhkan satu sama lain. Tapi beberapa dari kita tidak memiliki support system tersebut, dan merasa benar-benar sendirian — atau mungkin mereka memiliki beberapa teman, tapi mereka tidak benar-benar mampu mendengarkan. Kita tidak pernah bisa tau apa yang sedang dialami orang lain. Kita tidak tahu siapa yang membutuhkan bantuan, tetapi yang bisa kita lakukan sekarang adalah menjadi seorang pendengar yang baik — dan menjadi seorang pendengar yang baik sangat membutuhkan banyak latihan.

Tahun ini saya belajar untuk mendengar — dan saat mendengarkan, saya mencoba untuk hadir serta ada untuk mereka. Ketika pikiran saya lari ke mana-mana, saya mesti kembali sadar dan mendengarkan mereka. Saya mencoba untuk tidak memosisikan diri sebagai orang yang paling ahli dan tidak perlu memberikan saran-saran yang tidak penting, wejangan-wejangan yang terkesan menggurui, juga tidak menghakimi apa pun yang sedang mereka hadapi. Saya mencoba memberikan perhatian penuh kepada mereka dan memberikan dukungan emosional terhadap apa yang sedang mereka alami. Mendengar mungkin tidak menyembuhkan atau menyelesaikan sebuah masalah. Tetapi dengan mendengarkan, sedikitnya kita telah mampu untuk membantu meringankan beban mereka.

Belajar hidup dengan ketidakpastian

“Proses menuju mati penuh ketidakpastian dan saya akan tetap hidup dengan segala kemungkinan.”

Satu hal yang pasti dari kehidupan adalah ketidakpastian. Tahun ini mungkin bisa menjadi awal untuk kita semua bisa belajar untuk hidup bersandingan dengan itu— ketidakpastian. Saya baru menyadari kalau saya sering sekali menggunakan kata ‘semoga’ dan ‘mungkin’, baik dalam hal berbicara maupun di tulisan-tulisan saya. Banyak orang bilang untuk tidak menggunakan kata-kata tersebut, katanya — itu menjadikan kita pribadi yang tidak percaya diri. Ah, memangnya kenapa kalau saya tidak percaya diri? Saya senang-senang saja meskipun sering menggunakan kata-kata tersebut. Selain mungkin saya orang yang tidak pernah yakin; dua kata tersebut ternyata mampu menjadi jangkar untuk kapal saya yang besar dengan isi sangat sedikit — kalau di dunia ini tidak ada yang pasti, kecuali mati.

Saya begitu menyukai kisah-kisah mitologi Yunani dan selalu jatuh cinta dengan kisah Kotak Pandora yang diceritakan sebagai sumber masalah yang tampak berharga. Zeus memberikan hadiah sebuah kotak yang indah kepada pasangan Epimetheus dan Pandora, tetapi ia mengingatkan bahwa kotak itu tidak boleh dibuka. Oleh sebab rasa penasaran yang tinggi, Pandora membuka kotak itu dan menemukan segala macam teror dunia: kelaparan, rasa sakit, cemburu, dusta, tipu muslihat dan berbagai macam bencana yang akan dialami manusia. Setelah kecacatan menyebar ke seluruh jagat raya, Pandora kembali melihat ke dalam kotak tersebut dan menjumpai sesuatu yang ada di dasar kotak: harapan.

Harapanlah yang mampu menyelamatkan umat manusia. Kata ‘semoga’ dan ‘mungkin’ ialah sebuah harapan & bentuk kerendahan hati manusia, bahwa tidak ada yang pasti di dunia. Semoga kita dicukupi dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang ada. Sebab, ketidakpastianlah yang membuat kita tetap hidup.

Kewarasan & harga mahal yang mesti dibayar

Saya pikir menjadi pribadi introver akan lancar-lancar saja tinggal di rumah selama berbulan-bulan. Pasalnya, selama ini interaksi sosial berada di barisan paling bawah daftar kebutuhan saya. Ternyata, mengisolasi diri dari kehidupan sosial sangat berpengaruh pada diri saya secara mental. Di pertengahan tahun bisa dibilang kondisi saya memprihatinkan: kehilangan orientasi waktu, jam tidur kacau, & pekerjaan banyak yang tidak selesai. Rupanya, bagaimanapun juga kita tetap butuh interaksi dengan dunia luar. Kemudian, secara tidak sadar saya mulai membandingkan diri dengan orang lain — unggahan orang-orang di media sosial membuat saya berpikir keras: kok bisa ya orang-orang begitu produktif di masa-masa sulit seperti ini? Mereka mengikuti kelas daring, yoga, serta meditasi secara rutin. Sedangkan saya boro-boro — untuk mengatur jam tidur & makan saja masih kacau balau.

Beruntungnya saya paham betul kalau tidak akan ada habisnya dalam membandingkan diri dengan orang lain. Ada 2 hasil dari membandingkan diri dengan orang lain: kita merasa jauh lebih buruk, atau merasa jauh lebih baik dibanding mereka. Dan apa pun hasilnya, kita tetap kalah. Hasil yang pertama cenderung membuat kita tertekan alih-alih termotivasi, sedangkan yang kedua bisa membuat kita menjadi angkuh dan sombong. Mengingat itu saya mesti kembali ke dalam, bahwa fokus utama saya untuk menjadi lebih baik adalah bukan untuk orang lain, melainkan diri saya sendiri.

Saya mencari banyak cara bagaimana untuk menjaga kewarasan saya secara keseluruhan — dan menemukan bahwa selama ini saya kurang peduli dengan diri sendiri. Jika sedang lapar, saya makan apa saja asal kenyang. Jika membeli sesuatu, sebisa mungkin saya cari yang paling murah meski kualitasnya tidak baik. Saya becermin dan bertanya: “kok buat diri sendiri saja saya begitu perhitungan, ya?” Padahal segala yang kita konsumsi dan pakai kembali lagi buat diri kita sendiri. Kalau saya sendiri tidak perhatian dengan tubuh dan kesehatan yang saya miliki, bagaimana tubuh saya mau berfungsi dengan baik?

Tahun ini, untuk menjaga kewarasan, saya mencoba untuk lebih memperhatikan diri saya sendiri. Saya harus bisa memahami diri saya; kesenangan saya; kesukaan saya; dan kebutuhan saya. Akhirnya, saya menghadiahkan diri saya sebuah kursi nyaman untuk bekerja, merakit komputer yang bagus, dan merapikan kamar yang saya tinggali agar lebih nyaman. Itu semua saya lakukan untuk diri saya sendiri. Saya menyimpulkan bahwa harga dari kewarasan begitu mahal — dan berapa pun ongkos yang dibutuhkan, saya harus siap membayarnya.

Tahun depan saya akan berjalan lebih lambat

Tahun 2020 berjalan begitu cepat dan lambat pada saat yang bersamaan. Ketakutan dan kecemasan menghantui keseharian kita. Tahun ini saya belajar bahwa hidup adalah sebuah maraton panjang, bukan sebuah ajang lari cepat. Kalau kita dari awal sudah berlari kencang, kita akan kelelahan di tengah jalan dan kemungkinan besar kita tidak mampu melanjutkan.

Harapan saya, semoga 2021 menjadi tahun yang lambat, agar kita semua mampu berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan yang ada dan bersenang-senang dengan orang yang kita sayang. Saya harus mencoba belajar untuk berjalan lebih lambat — seperti kalimat yang saya tulis dan menjadi mantra untuk diri saya sendiri: Pelan-pelan. Pun Tuhan tidak menciptakan seisi bumi dalam satu hari.